SAMARINDA — Suasana Hotel Harris Samarinda terasa berbeda saat ratusan sastrawan dan budayawan dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam berkumpul dalam Dialog Serantau Kalimantan (DSBK) ke-16, sebuah forum tahunan yang mengedepankan peran sastra dan budaya Melayu sebagai pengikat masyarakat serumpun.
Mengusung tema “Nusantara dan Penguatan Sastra Melayu: Merawat Estetika dan Didaktika”, acara ini dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji, yang menekankan pentingnya forum ini sebagai wadah mempererat hubungan budaya antarnegara di kawasan Borneo, Selasa (17/6/2025) malam di Hotel Harris Samarinda.
Salah satu narasumber yang tampil dalam sesi utama adalah Siti Rizky Amalia, Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kutai Timur, yang menyoroti peran strategis kesenian lokal dalam menjaga identitas budaya Kalimantan di tengah arus globalisasi.
“Kesenian bukan hanya warisan, tapi juga jembatan untuk memperkuat hubungan antarbangsa. Dalam kesenian, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tapi juga membentuk masa depan,” Ungkapnya.
Selain itu, Rizky sapaan karibnya menekankan bahwa seni dan sastra memiliki kekuatan untuk menyatukan berbagai latar belakang sosial, budaya, dan bahasa. Dalam konteks Kalimantan, menurutnya, karya-karya sastra Melayu dan pertunjukan seni tradisi memiliki nilai historis sekaligus didaktis yang masih sangat relevan dengan isu-isu kontemporer.
Sebagai Ketua DKD Kutai Timur, Siti Rizky Amalia juga mendorong kolaborasi yang lebih intens antar daerah dan negara serumpun, tidak hanya dalam bentuk pertukaran karya, tetapi juga melalui program residensi seniman, festival bersama, dan pengembangan kurikulum budaya lokal di sekolah-sekolah.
“Kami di daerah terus berupaya agar kesenian tidak hanya hidup dalam seremoni, tetapi hadir dalam keseharian masyarakat, terutama generasi muda,” tambahnya.
Forum DSBK ke-16 ini juga menampilkan berbagai agenda budaya seperti parade seni, pembacaan puisi lintas negara, peluncuran buku, dan diskusi panel. Dua karya penting yang diluncurkan dalam forum ini adalah antologi puisi “Jejak Perigi di Tangga Melayu” serta kumpulan makalah berjudul “Perbincangan.”
Dengan lebih dari 200 peserta terpilih dari total 300 karya yang masuk, DSBK 2025 menjadi bukti bahwa semangat kebudayaan serumpun masih kuat terjaga. Samarinda pun kembali mencatat sejarah sebagai tuan rumah pertemuan budaya berskala internasional, setelah sebelumnya sukses menggelar acara serupa pada tahun 2011.
“Dialog ini bukan hanya ruang nostalgia budaya, tetapi langkah nyata membangun masa depan seni dan sastra Melayu yang adaptif, terbuka, dan penuh makna,” pungkas Siti Rizky Amalia. (*)